Posted on Leave a comment

KUBET – Kemana Arah Larinya Riset-Riset di Indonesia?

images info

Secara kuantitas, riset dan publikasi ilmiah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data Scimago Journal and Country Rank – yang diambil dari basis data Scopus – menunjukkan, Indonesia telah menghasilkan 58.224 publikasi ilmiah pada 2023. Ada kenaikan 28% dari tahun sebelumnya.

Angka tersebut menjadikan Indonesia menempati posisi ke-19 sebagai negara dengan publikasi ilmiah terbanyak. Ada kenaikan peringkat Indonesia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Jumlah publikasi ilmiah di Indonesia

info gambar

Akan tetapi, apakah riset di Indonesia hanya cukup diukur dengan angka? Bagaimana dengan kualitasnya?

Dukung Indonesia Emas 2045, Begini Rencana Strategis Riset Keanekaragaman Hayati dan Fauna dari BRIN

Skema Pendanaan Riset di Indonesia

Sebelum membahas kualitas riset dan publikasi ilmiah, ada baiknya untuk terlebih dahulu mengetahui bagaimana skema pendanaan riset di Indonesia. Pendanaan ini secara langsung berpengaruh terhadap kuantitas maupun kualitas riset di Indonesia.

Di Indonesia, ada beberapa skema pendanaan riset yang dapat dimanfaatkan oleh dosen maupun para periset.

Pertama, perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki lembaga penelitian yang bertugas untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengoordinasi pendanaan riset. Segala pengelolaan terkait riset dipegang oleh lembaga ini: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM).

Publikasi Ilmiah Internasional 2023 Meningkat Pesat, Delapan Perguruan Tinggi Ini Jadi Kunci

Keberadaan lembaga penelitian di perguruan tinggi tentunya memegang peranan yang sangat penting. LPPM berperan sebagai gatekeeper terhadap pelaksanaan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi yang harus diterapkan, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat.

Dibandingkan lembaga lain, perguruan tinggi tercatat masih menjadi lembaga dengan publikasi ilmiah internasional tertinggi. Tahun 2023, ada delapan perguruan tinggi yang telah menyumbang sejumlah publikasi ilmiah.

UGM melalui lembaga penelitiannya berhasil menyumbang publikasi ilmiah sebesar 3.483 dokumen, disusul dengan Universitas Indonesia dengan 3.341 dokumen, dan Universitas Airlangga dengan 3.306 dokumen.

Lembaga dengan publikasi ilmiah terbanyak tahun 2023

info gambar

“Kampus-kampus yang besar, seperti UGM, ITB, UI, Unair, pasti budget atau alokasi pendanaan untuk riset akan lebih banyak dibandingkan kampus-kampus negeri yang lain, yang statusnya BLU,” jelas Edi Subkhan, analis kebijakan pendidikan yang juga dosen Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES), dalam wawancara dengan GNFI.

Limbah baterai Berbahaya bagi Lingkungan dan Kesehatan, Ini yang Dilakukan BRIN dan UGM

Kedua, skema pendanaan riset oleh pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sebagai badan riset, BRIN berperan dalam penganggaran aktivitas riset di Indonesia.

Pada 2023 lalu, BRIN mengucurkan dana sekitar Rp2,2 triliun untuk pendanaan penelitian dan inovasi serta penyediaan infrastruktur. Pada tahun yang sama, BRIN mencatat ada sekitar 5.273 dokumen yang telah dipublikasikan di tingkat internasional.

Meski mencatatkan capaian yang cukup baik, keputusan untuk sentralisasi lembaga-lembaga riset dari berbagai keilmuan di bawah BRIN perlu dikaji ulang. Sebab, kebijakan sentralisasi ini berpotensi untuk mengesampingkan bidang-bidang tertentu dalam hal pendanaan riset.

Ketiga, pendanaan dari lembaga-lembaga di luar BRIN ataupun di luar kampus-kampus – baik kampus swasta maupun kampus negeri – yaitu pusat kajian atau lembaga-lembaga yang memiliki konsentrasi dalam produksi pengetahuan. Dalam hal ini, periset juga memiliki peluang untuk mendapatkan pendanaan dari luar negeri.

Riset BRIN Ungkap Manfaat Gel Duri Landak untuk Penyembuhan Luka

Peleburan Lembaga Riset ke dalam BRIN, Arah Kemunduran Riset?

Riset di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Wacana yang kerap dijadikan diskursus adalah perihal anggaran riset. Sebenarnya, tidak hanya dari segi anggaran, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah juga turut berpengaruh terhadap kualitas riset di Indonesia, salah satunya ialah sentralisasi BRIN.

Peleburan lembaga-lembaga riset ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak 2021, dinilai sebagai kebijakan yang membawa riset ke arah kemunduran. Sebab, lembaga-lembaga yang awalnya memiliki fokus di bidang tertentu dan dinaungi kementerian terkait, harus disentralisasi di bawah BRIN yang menaungi berbagai bidang.

Saat ini, BRIN mengelola 12 Organisasi Riset (OR) dan 86 Pusat Riset dari berbagai bidang. Akibatnya, banyak penelitian di beberapa bidang yang pada akhirnya berpotensi untuk tidak mendapat pendanaan.

Riset BRIN Mengungkap Tingkat Stres Orangutan dari Kotorannya, Bagaimana Caranya?

“Ketika ada sentralisasi dengan pertimbangan yang gak matang itu, kontribusinya malah setback, artinya ke belakang. BRIN punya alokasi dana tersendiri, tapi informasinya kan juga di dalam BRIN itu ya kompetitif. Beberapa topik di BRIN tidak ada jaminan untuk didanai karena kompetitif,” ungkap Edi.

Seharusnya, ia menambahkan, pemerintah mengidentifikasi keberadaan lembaga-lembaga riset dan kemudian mendukung, termasuk lewat pendanaan dan infrastruktur.

“Gak perlu digabung, reorganisasi. Ini bukan memperbaiki sistem atau iklim-iklimnya, tapi justru mendegradasi dari upaya pengembangan,” tegasnya.

Edi menekankan, seharusnya yang dibangun adalah iklim diskusi dari hasil publikasi ilmiah itu. Bagaimana akademisi saling mengkritisi hasil penelitian yang dihasilkan.

Unik, Ramuan Penghilang Bau Sampah Justru Terbuat dari Campuran Limbah Sampah

Masalah Jurnal Predator, Plagiarisme, hingga Penelitian Berulang

Sebenarnya, secara kualitas, riset di Indonesia masih banyak perlu peningkatan. Sebab, selama ini, ketercapaian publikasi ilmiah hanya dilihat dari segi kuantitas.

Hal ini tidak dapat terlepas dari fakta bahwa standardisasi kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi negeri, ditetapkan lewat Indeks Kinerja Utama (IKU). Dalam indeks ini, jumlah publikasi ilmiah masih menjadi tolok ukur keberhasilan riset.

Bukan sebagai solusi atas kurangnya kegiatan ilmiah, beban pemenuhan target jumlah publikasi ilmiah ini justru dinilai menjadi salah satu faktor munculnya berbagai masalah riset di Indonesia, termasuk plagiarisme dan penerbitan artikel di jurnal predator.

“Karena yang dituju hanya sekedar soal kuantitas, ya pokoknya penting publish. Publikasinya meningkat, tapi diskursi keilmuan nggak dibangun,” terang Edi.

Terapi Kesehatan Mental Berbasis Budaya, Kolaborasi Ilmu Psikologi dan Antropologi dari Prof. Subandi

Sebenarnya, fenomena penggunaan jurnal predator sebagai jalan pintas publikasi ilmiah bukan baru saja terjadi. Dilansir dari Kompas.com, merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Vit Machacek dan Martin Srholec pada 2022 lalu dalam “Predatory publishing in Scopus: Evidence on cross-country differences”, Indonesia bahkan telah menjadi negara kedua pengguna jurnal predator selama kurun waktu 2015 – 2017. Hanya saja, kasus ini baru terungkap ke permukaan tahun lalu.

Lebih lanjut lagi, laporan The Conversation bahkan mengatakan, 8 dari 10 Guru Besar di Indonesia pernah menerbitkan artikel di jurnal predator. Angka ini ditemukan berdasarkan hasil survei terhadap 158 guru besar dengan 4.742 artikel jurnal terindeks Scopus yang berasal 18 Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia.

Hasilnya, 1.363 artikel atau hampir 30% dari sampel terbit di jurnal-jurnal yang merupakan karya Guru Besar, terindikasi predator.

Penghargaan Akademik Tertinggi dari Pemerintah Prancis untuk Guru Besar UGM

Tidak hanya ancaman jurnal predator, pembebanan target jumlah publikasi ini juga menyebabkan peneliti di Indonesia hanya sekedar recycle ide. Artinya, peneliti-peneliti banyak yang menggunakan kembali penelitian-penelitian sebelumnya tanpa ada unsur kebaruan. Akibatnya, muncul tindakan plagiarisme.

Penelitian tersebut juga tidak memiliki novelty atau kebaruan yang berkontribusi secara teoritik terhadap bidang ilmu tertentu.

“Penelitian semacam itu ya benar-benar hanya memecahkan masalah teknis saja, tapi kontribusi keilmuan jadi nggak ada. Jadi kan sampai sekarang ya nggak ada orang Indonesia yang dinominasikan Nobel,” imbuh Edi Subkhan.

Guru Inspiratif dari Gresik: Kehebatan Ahmad Zubaidi Amrullah yang Raih Anugerah GTK Kemenag

Dosen Muda Jadi Salah Satu Kunci Dongkrak Kualitas Riset

Meski banyak celah sana-sini yang tengah dihadapi riset Indonesia, bukan berarti sama sekali tidak ada harapan. Dengan hadirnya dosen-dosen muda di perguruan tinggi, riset memiliki sedikit harapan untuk mendongkrak dari segi kualitas.

Riset yang berkualitas ini, perlu dibangun lewat iklim keilmuan yang kuat, mulai dari pelatihan dan pendidikan yang bagus, konsistensi, serta aktivitas diskusi.

“Karena riset itu, pertama itu tergantung dari orangnya,” papar Edi.

Alat Pakan Ikan Otomatis Rancangan ITB, Solusi Agar Petambak Tidak Wara-Wiri

Selain membangun dari segi sumber daya manusia, pemerintah juga berperan dalam mendukung aktivitas riset, terutama dalam hal pendanaan. Sebab, tidak dapat dipungkiri, penelitian yang dilakukan akan membutuhkan bantuan dana yang cukup besar.

“Kalaupun ada seorang peneliti yang bagus, dia lulus dari kampus luar misalnya, terus balik ke Indonesia, tapi nggak ada dukungan pendanaan, nggak ada dukungan dari ekosistem yang bagus, dia akan jadi single fighter,” terang Edi.

“Oleh karena itu, dukung para peneliti dengan pendanaan yang oke, terus sistem yang bagus, dan jangan hanya kasih target yang sifatnya kualitatif dari pemerintah, bangun iklim ilmiah,” tandasnya.

Kiprah Yudha Prawira Budiman, Dosen Unpad yang Jadi Penulis Utama di Jurnal Chemical Reviews Bersama Sederet Peneliti

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *