
Pernikahan Jawa klasik memang selalu menarik untuk disimak. Prosesinya yang panjang dan unik membawa nuansa magis, membalut setiap langkah dalam upacara sakral sekali seumur hidup itu.
Salah satu tradisi yang sarat akan makna dalam prosesi pernikahan Jawa adalah cucuk lampah. Tradisi ini menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari pernikahan adat Jawa.
Cucuk lampah adalah salah satu rangkaian pernikahan adat Jawa klasik, di mana seorang penari akan memandu rombongan pengantin dengan gerakan-gerakan khas yang tertata. Kata “cucuk” dalam bahasa Jawa berarti pemimpin pasukan. Sementara itu, “lampah” berarti berjalan.
Sejak dahulu, cucuk lampah dipercaya sebagai brastosukerto, tolak balaknya sengkolo atau menjauhkan dari hal-hal buruk dan malapetaka. Jenis cucuk lampah sangat beragam, salah satunya adalah cucuk lampah wayang dengan tokoh Arjuna.
Alunan gending yang indah diiringi dengan lenggak-lenggok tarian gemulai penuh makna mampu membius siapa saja yang menyaksikannya. Adalah Sapta Manggala Gunawan, seorang Maestro kondang kelahiran Kediri, Jawa Timur, yang masih eksis untuk melestarikan tradisi cucuk lampah.
Sapta menyebut riasan pada tokoh Arjuna cenderung lembut dan tidak glamor. Gerakan tariannya pun sangat halus, mengikuti alunan musik yang diperdengarkan.
Kostum yang dipakai memiliki ciri khas tokoh pewayangan Jawa, seperti jarik parang klitik cokelat, selendang dengan warna pakem kuning di bagian depan dan hijau di belakang, dan mahkota. Propertinya pun tampak istimewa dengan sentuhan warna emas yang menawan.
Perang Ketupat di Tempilang, Tradisi Bernuansa Seni yang Jadi Ajang Silaturahmi
Tradisi Cucuk Lampah yang Mulai Redup
Di tengah masifnya kecenderungan anak muda yang semakin enggan menggunakan adat Jawa klasik dalam pernikahannya, Sapta masih teguh melestarikan cucuk lampah sebagai tradisi yang harus dipertahankan. Cucuk lampah bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sarana untuk menghidupkan warisan budaya di daerahnya.
“Anak sekarang biasanya menyebut musik sebagai pengiringnya, tapi yang benar aslinya gendhing,” jelas Sapta.
Dedikasinya melestarikan cucuk lampah di tengah gempuran budaya luar ini diabadikan dengan apik oleh Miftahul Fahmil Ilmi, dalam Lomba Rekam Maestro yang dihelat GNFI dan Kemdikbud RI. Gerakan yang cantik dan gemulai terekam dengan jelas nan indah dalam karya tersebut.
Gempuran budaya asing yang masuk ke Indonesia membuat seniman lokal, termasuk Sapta, harus berjuang lebih keras. Alih-alih menyerah, Sapta justru semakin bersemangat untuk mengembangkan penampilannya.
Sang Maestro mulai “mengubah diri”, seperti membuat antingnya menjadi lebih glamor, hingga memakai kostum yang sesuai dengan permintaan client. Hal ini dilakukan agar penampilannya lebih indah, menarik, dan laku.
“Bagaimana caranya agar tetap laku, khususnya seniman tari, seperti saya,” imbuhnya.
Menurutnya, seni bersifat statis, bukan dinamis. Hanya seniman yang memiliki idealis dan minat yang tinggi, yang mau memodali dirinya untuk perkembangan budaya itu sendiri.
Di sisi lain, sejak 2016, Sapta sudah mengajarkan budaya ini kepada lebih dari 100 siswanya. Tak lupa, ia mengajak kawula muda untuk ikut melestarikan budaya tanah Jawa ini bersama-sama agar tidak musnah tergerus zaman.
“Mau berkembang bagaimana lagi kalau kita tidak mau melestarikan budaya itu sendiri?,” tukasnya.
Nenek Renia, Satu dari Sekian Penutur Sastra Lisan “Korehan” yang Masih Setia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News