
Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) adalah sebuah badan peradilan yang dibentuk untuk memberikan menyelidiki, dan jika diperlukan, mengadili individu yang didakwa melakukan kejahatan besar menurut hukum internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, hingga kejahatan perang.
Didirikan pada 2002, Pengadilan Pidana Internasional ini bersifat independen alias tidak terikat dengan badan maupun lembaga mana pun. ICC saat ini berkantor pusat di Den Haag, Belanda.
Menukil dari laman resmi ICC, Pengadilan Pidana Internasional ini dibuat berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada 17 Juli 1998 di Konferensi Roma. Statuta Roma adalah perjanjian internasional yang menetapkan kerangka kerja Pengadilan Pidana Internasional.
Kawan GNFI, Statuta Roma menetapkan yurisdiksi pengadilan atas kejahatan berat yang dilakukan oleh individu tertentu. Selain itu, Statuta ini juga membahas beberapa masalah, seperti penerimaan hukum yang berlaku, komposisi dan administrasi pengadilan, investigasi dan penuntutan, persidangan, hukuman, banding dan revisi, kerja sama internasional dan bantuan hukum, serta penegakan hukum.
Di sisi lain, ICC juga merupakan pengadilan pidana internasional pertama dan permanen di dunia. ICC berhak untuk melakukan investigasi dan menuntut setiap individu yang dituduh melakukan tindakan pelanggaran HAM yang serius.
Sebagai informasi, Pengadilan Pidana Internasional hanya mengadili individu, bukan negara. Beberapa contoh individu yang pernah diadili oleh Mahkamah Internasional ini adalah Charles Taylor, Laurent Gbagbo, Dominikus Ongwen, dan Bosco Ntaganda.
Saat ini, terdapat 125 negara yang meratifikasi Statuta Roma dan menjadi anggota Pengadilan Pidana Internasional. Rusia, Amerika Serikat, Mesir, Ukraina, Iran, dan sebagainya tercatat pernah menandatangani Statuta Roma, tetapi badan legislatif negara mereka tidak pernah meratifikasinya.
Sementara itu, Tiongkok, India, Indonesia, Filipina, Malaysia, India, hingga Arab Saudi tidak pernah menandatangani Statuta Roma. Artinya, Indonesia dan negara-negara tersebut tidak menjadi anggota Pengadilan Pidana Internasional.
Lalu, apa alasan Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma? Mahkamah Konstitusi (MK) RI menyebut, alasan Indonesia belum meratifikasinya adalah karena “ketidakrelaan” apabila seseorang yang disebut pahlawan negara, justru dianggap sebagai penjahat di negara lain.
Terdapat kekhawatiran bahwa ratifikasi dapat membuka potensi konflik hukum mengenai yurisdiksi dan tanggung jawab negara terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di luar batas teritorial Indonesia, apalagi jika pelaku bukan merupakan warga Indonesia.
Belajar dari Yap Thiam Hien, Singa Pengadilan yang Mengaum Membela Kemanusiaan
Indonesia Belum Meratifikasi Statuta Roma
Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, Indonesia pernah berpartisipasi dalam Konferensi Roma yang mengadopsi Statuta ICC. Kemudian, pada Konferensi Peninjauan Statuta Roma tahun 2010 di Kampala, Uganda, Indonesia kembali hadir. Namun, saat itu statusnya sebagai pengamat.
Dalam sebuah publikasi di Parliamentarian for Global Action yang berjudul Indonesia and the Rome Statute, dijelaskan bahwa Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) No.26 Tahun 2000. UU ini mengatur tentang landasan hukum dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat.
Dalam sebuah artikel jurnal yang bertajuk Undang-Undang Nasional yang Memadai: Menilai Ketidakperluan Ratifikasi Statuta Roma, dijelaskan jika terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, baik dari segi hukum, politik, maupun sosial.
Ratifikasi Statuta Roma disebut dapat mengancam keamanan nasional, termasuk menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi pada pejabat militer yang berpotensi mengganggu stabilitas negara.
Kawan GNFI, jika sebuah negara sudah meratifikasi Statuta Roma, artinya negara itu harus tunduk patuh dalam ketentuan Statuta Roma, yang kemudian dilakukan penerapan ke dalam hukum nasional suatu negara. Ini bertujuan agar negara dapat bekerja sama penuh dengan ICC.
Di sisi lain, dijelaskan jika terdapat kekhawatiran apabila meratifikasi Statuta itu, sebagian yurisdiksi negara akan jatuh pada ICC. Terdapat keraguan pada netralitas Pengadilan Pidana Internasional dalam mengadili kasus yang menjerat negara berkembang.
Indonesia sendiri sangat menghormati Pengadilan Pidana Internasional. Meskipun belum meratifikasi Statuta Roma, Indonesia tetap dapat memainkan peran diplomasinya kepada negara-negara sahabat yang sudah menjadi anggota ICC.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat pada Pengadilan Lebih Tinggi daripada KPK dan Polisi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Kabar Baik Indonesia
Good News From Indonesia
Makin Tahu Indonesia
Pengadilan Pidana Internasional
International Criminal Court
ICC
Statuta Roma
Pengadilan Pidana Internasional adalah
ICC adalah
Statuta Roma adalah
alasan indonesia belum meratifikasi statuta roma
alasan indonesia bukan anggota pengadilan pidana internasional
alasan statuta roma belum diratifikasi indonesia