
Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman, S.S., M.A. merupakan Dosen Program Studi Liberal Arts dan mengajar mata kuliah Sejarah Pemikiran, Etika, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di Universitas Pelita Harapan Jakarta.
Melalui bukunya yang berjudul Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital, Budi Hardiman menganalisis bagaimana tindakan sederhana seperti “klik” atau “ketuk” telah mengubah kehadiran manusia, yang semula berinteraksi secara langsung, kini beralih menjadi komunikasi secara digital.
Budi Hardiman memperoleh gelar S2 dan S3 dari Hochschule fur Philosophie di Munich, Jerman. Pada Desember 2021, ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat. Dalam kajian dan penelitiannya, ia menemukan pola etika komunikasi digital dari ancaman kemudahan mengakses teknologi.
Guru Besar kebanggaan Universitas Pelita Harapan Jakarta ini memiliki kepakaran dalam beberapa bidang filsafat yang spesifik, terutama dalam konteks teknologi, masyarakat, dan pemikiran kritis.
Perbedaan Nilai Pendidikan Karakter yang Ditanamkan Orang Tua Banjar, Tionghoa, dan Madura: Ini Temuan Prof. Nuril Huda
Teknologi, seperti yang diketahui, adalah alat untuk mempermudah berbagai jenis aktivitas manusia. Oleh karena itu, kontribusi teknologi dalam kepraktisan, mengarahkan manusia menjadi serba cepat, instan, serta mengubah cara berkomunikasi.
Dalam kondisi yang demikian, teknologi telah banyak mempermudah penyebaran dan pertukaran informasi, dan hal ini merupakan situasi baru bagi hubungan sosial manusia.
“Media-media sosial seperti Twitter, Facebook, Whatsapp, Tik Tok, Instagram, telah mempermudah penyebaran dan pertukaran pesan yang dimungkinkan oleh teknologi digital itu sering bergerak jauh lebih cepat daripada kesadaran moral kita. Setiap klik yang kita lakukan mengubah sesuatu di dunia ini,” ungkap Budi Hardiman, sebagaimana dalam bukunya Aku Klik Maka Aku Ada.
Ke Mana Arah Larinya Riset-Riset di Indonesia?
Era Digital dan Tantangan Komunikasi: Apa yang Berubah?
Di era digital, komunikasi menjadi lebih cepat, luas, dan tak terbatas oleh ruang serta waktu. Namun, kemudahan ini menurutnya, membawa tantangan baru, seperti maraknya misinformasi, ujaran kebencian, dan hilangnya batasan dalam berinteraksi.
Anonimitas di dunia maya sering membuat orang merasa bebas berkata tanpa memikirkan dampaknya. Oleh karena itu, Prof. F. Budi Hardiman menyoroti bahwa kebebasan berekspresi di internet harus diimbangi dengan tanggung jawab etis.
“Tindakan sepele seperti klik, menjadi sesuatu yang kehilangan bobotnya,” jelasnya.
Kecepatan komunikasi melalui teknologi, mengubah interaksi yang semula direfleksikan terlebih dulu, kini lebih spontan.
Bukan Indonesia, Ternyata Warga Negara Ini yang Habiskan 60% Waktunya untuk Bermain Ponsel
Mengapa Kebebasan Berekspresi harus diimbangi dengan Tanggung Jawab?
Lewat penelitiannya, Prof. F. Budi Hardiman memperkenalkan konsep etika “klik”, yang menekankan pentingnya jeda reflektif sebelum melakukan tindakan digital seperti klik, ketuk, dan ketik.
Kesadaran akan etika komunikasi, ruang digital bisa berubah menjadi arena konflik yang merusak, alih-alih menjadi wadah diskusi yang sehat dan membangun.
“Kebebasan berekspresi di dunia digital bukanlah kebebasan tanpa batas. Di era media sosial, setiap klik, unggahan, dan komentar bukan sekadar aksi spontan, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial. Menjadi viral secara digital kurang lebih sama seperti wabah,” ungkapnya.
Tanpa tanggung jawab, kebebasan ini dapat berujung pada penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau bahkan perundungan daring.
Sementara itu, kebebasan berbicara harus selalu diiringi dengan kesadaran etis agar komunikasi digital tetap bermartabat dan tidak menjadi alat yang merusak keharmonisan sosial.
Perhumas: Kemampuan Komunikasi Jadi Mesin Perubahan yang Positif dan Tak Akan Tergantikan AI!
Membangun Ruang Digital yang Lebih Beradab
Lebih komprehensif lagi, teori etika komunikasi digital pada akhir penelitian yang dilakukan, Prof. F. Budi Hardiman menegaskan bahwa ruang digital adalah cerminan dari bagaimana manusia berinteraksi di dunia nyata.
Untuk membangun ruang digital yang lebih beradab, setiap individu harus menyadari bahwa komunikasi daring bukan sekadar ekspresi diri, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sosial.
Dalam hal ini, Etika berbicara dalam ruang digital, memerlukan verifikasi informasi sebelum membagikan, serta menghormati perbedaan pendapat, menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan digital yang sehat.
“Manusia tetap merupakan tuan atas alat-alat, maka tanpa kesadaran ini, alat-alat dapat memperalat kita. Sehingga kita kehilangan kesadaran etika. Yang menentukan hidup kita bukanlah mesin-mesin cerdas, melainkan tetap sikap dan respons kita atas merekalah yang membuat perbedaan,” tegasnya.
Oleh karena itu, untuk memahami bahwa kebebasan di dunia maya tetap membutuhkan batasan moral, kita bisa menjadikan internet sebagai ruang diskusi yang lebih inklusif, konstruktif, dan beradab.
Prof. Riri Fitri Sari, Inisiator UI GreenMetric Tiga Kali Dianugerahi Honorary Professor
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News