Di era digital, informasi bisa menyebar begitu cepat berkat teknologi. Viralitas pun memberi peluang besar untuk membuat pesan kita menjangkau sebanyak mungkin orang, tetapi sekaligus juga bisa menjadi ancaman serius bagi perusahaan atau organisasi. Diskusi mengenai hal tersebut tersaji dalam GoodTalk Off-air bertajuk “Viralitas vs Reputasi: Menimbang Batas Etika dalam Komunikasi Publik” yang digelar di GoWork Plaza Indonesia, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Dalam acara yang terselenggara lewat Good News From Indonesia (GNFI) dengan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) tersebut, GoodTalk Off-air kali ini menghadirkan tiga narasumber yang membahas bagaimana perusahaan dan organisasi mengelola komunikasi di tengah derasnya arus informasi dan opini. Banyak yang sukses membangun narasi dan menjaga kredibilitas. Di sisi lain, tidak sedikit yang terjebak dalam krisis akibat strategi komunikasi yang kurang tepat. Ketiganya adalah Ketua Bidang International Relations Perhumas dan Head of Corporate Affairs GoTo Financial, Audrey Progastama Pretiny, Corporate Communications Strategic Lion Air, Danang Mandala Prihantoro, serta Associate Professor Public Policy and Management Monash University, Ika Idris.
Di GoWork Plaza Indonesia yang menyajikan ruang kerja fleksibel dan premium dengan berbagai fasilitas mulai dari meeting room sampai studio podcast, acara dimulai dengan pemaparan dari Audrey mengenai pentingnya komunikasi krisis serta bagaimana langkah yang tepat untuk menanganinya. Menurutnya, tanpa kemampuan menangani isu secara mumpuni, suatu krisis dapat berdampak pada rusaknya reputasi suatu brand, sementara membangunnya kembali tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Dampaknya cukup serius. Pertama, reputasi bisa langsung rusak karena kepercayaan pelanggan menurun. Kemudian biasanya kalau brand tidak mampu menangani krisis dengan baik, akan berdampak pada reputasi brand tersebut dalam jangka panjang.” ujar Audrey.
Dengan reputasi yang rusak, roda bisnis perusahaan pun sangat mungkin ikut terdampak negatif. Bentuk dari wujud dampak negatif itu pun beragam, mulai dari aksi boikot, penurunan penjualan secara drastis, bahkan tuntutan hukum. Untuk itulah, dibutuhkan strategi jitu untuk menangani krisis sekaligus menyelamatkan reputasi brand.
Audrey mengingatkan bahwa cara menangani krisis tak selalu sama. Setiap krisis memiliki penyebab dan konsekuensinya yang juga berbeda, demikian pula dengan tempat kemunculannya, baik itu di media sosial maupun lapangan. Kendati demikian, terdapat tiga hal yang menjadi golden rules yang perlu diterapkan para praktisi kehumasan untuk setiap jenis krisis, yakni speed and accuracy, transparency and empathy, serta accountability.
Prinsip speed and accuracy berarti praktisi PR perlu menanggapi isu yang beredar secara cepat dengan memberikan fakta-fakta yang tepat. Sementara itu, transparency and empathy bermakna praktisi HR perlu bersikap terbuka dan menaruh empati terhadap pihak-pihak yang terlibat. Kemudian dengan accountability, suatu brand harus menunjukkan tanggung jawab dan upaya-upaya perbaikan.
Terkadang, praktisi kehumasan harus menemui kenyataan bahwa reputasi brand sudah terlanjur tidak sebaik yang diharapkan. Itulah yang dialami oleh Danang. Ia membagi pengalamannya dalam melakukan kerja kehumasan di tengah banyaknya orang yang memberi label negatif terhadap brand yang dikelolanya.
Sebagai praktisi kehumasan, Danang dan timnya bergerak untuk memetakan masalah yang ada, mulai dari karakteristik industri penerbangan, karakteristik isu yang kerap tersebar, hingga potensi krisis yang bisa saja muncul. Dari pengalamannya, Danang juga mengemukakan apa yang disebutnya sebagai seni menghadapi krisis. Itulah “senjata” yang digunakan pria berkacamata tersebut sebagai solusi.
Seni menghadapi krisis versi Lion Air yang pertama adalah menyederhanakan birokrasi. “Terlalu banyak orang, ada sisi positif, ada sisi negatif. Karena masing-masing ada pendapat, membuat pusing.” kata Danang.
Kemudian, seni menghadapi krisis yang kedua adalah memperhatikan sejumlah aspek dalam pesan yang disampaikan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sumber, siapa yang menyampaikan, isi pesan, serta cara penyampaiannya. Untuk itu, praktisi kehumasan harus cermat dalam memilih sosok juru bicara sampai gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada publik.
“Kalau yang ngomong artis, followers-nya gede, dia ngomong hal yang nggak penting pun bisa jadi besar.” papar Danang mencontohkan.
Sementara itu, seni menghadapi krisis nomor tiga adalah menyiapkan narasi dan storytelling. Meski terlihat mudah, tantangan bisa muncul saat praktisi kehumasan harus menjelaskan hal teknis dengan bahasa yang mudah dipahami, juga menerjemahkan bahasa asing ke Bahasa Indonesia agar berbagai istilah bisa disampaikan tanpa ada yang meleset maknanya. Soal ini, Danang memberi contoh saat timnya harus menjelaskan insiden tabrakan antara burung dengan pesawat terbang kepada publik.
“Hal sepele kayak bird strike, tabrakan dengan burung. Netizen menyalahkan pesawat atau burung? Tetapi pesawat ditabrak burung, pesawatnya yang penyok.” ujar Danang.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan para praktisi kehumasan, upaya menyebarkan pesan hingga viral hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik dan beretika. Bagi Ika Idris, penting untuk menjaga agar persuasi yang dilakukan terutama lewat konten media sosial tidak berubah menjadi koersi, apalagi manipulasi yang pada intinya sama-sama memaksa publik untuk hanya menerima opini tunggal tanpa terbuka pada opini lainnya.
Kerja kehumasan perlu mendukung terciptanya iklim demokratis. Artinya, harus ada ruang untuk menampung suara-suara dari pihak yang terdampak oleh kebijakan perusahaan atau organisasi. Humas tidak sepatutnya menutup pintu terhadap berbagai opini yang muncul.
“Dia bisa mendukung organisasi atau perusahaan kalau bisa mengenali suara dari vulnerable stakeholders. Stakeholders yang penting, tetapi tidak punya akses ke media. Kalau ada kebijakan atau policy, dia yang kena dampaknya duluan.” lanjut Ika
Demi terciptanya iklim kehumasan yang demokratis, Ika sangat menyarankan agar praktisi kehumasan menghindari upaya mempersuasi publik lewat cara-cara yang mengarah kepada pembungkaman opini masyarakat, misalnya penggunaan buzzer media sosial yang secara agresif menyerang pihak-pihak yang memiliki opini tertentu.
“Kalau anda mengatakan seolah-olah ruang ini terbuka untuk opini dan pilihan yang lain padahal anda mem-pressure pilihan-pilihan itu, di situ sebenarnya sudaH terjadi aspek manipulasi.” pungkas Ika.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News