
Entah ada berapa ribu tradisi yang ada di Indonesia. Dari ujung barat hingga timur, ada berbagai macam tradisi yang mencerminkan kekayaan budaya, sejarah, dan cerita unik tiap daerahnya.
Masing-masing tempat dihuni oleh suku, agama, dan kelompok masyarakat yang berbeda. Mereka memiliki cara tersendiri untuk melestarikan tradisi tertentu yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Warisan budaya yang tak ternilai harganya tersebut menjadi salah satu kekayaan yang harus dilestarikan. Sangat disayangkan jika identitas khas setiap daerah hilang tergerus zaman apabila tidak dilestarikan dengan baik.
Kawan GNFI, salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah Perang Ketupat. Tradisi tersebut masih sangat umum ditemukan di Desa Tempilang, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Perang Ketupat digadang-gadang sudah ada sejak tahun 1.800-an dan masih dilakukan hingga saat ini. Uniknya, dalam pelaksanaan tradisi ini, puluhan pria dan wanita akan berkumpul di tengah lapangan, dan mereka akan saling berebut serta melempar ketupat.
Menariknya, Perang Ketupat sudah diakui secara resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2014 silam. Tidak hanya itu, tradisi ini juga sukses menggondol Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari Kementerian Hukum dan HAM di tahun 2023.
Tradisi Pengusir Bala
Perang Ketupat rutin dilaksanakan satu tahun sekali, tepatnya pada minggu ketiga di bulan Syakban. Tradisi ini bertujuan untuk meminta keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dahulu, perang ini dilakukan sebagai bentuk persembahan bagi penguasa laut dan darat. Namun, seiring berkembangnya zaman dan masuknya pengaruh Islam, tradisi ini berangsur-angsur berubah, baik dari segi tujuan maupun ritualnya.
Tradisi ini bergeser dan memadukan unsur agama Islam dan budaya lokal. Ini ditandai dengan adanya tahlilan dan doa bersama. Sementara itu, unsur budaya yang masih dilakukan adalah ritual perang ketupat.
Terdapat prosesi nganyot perae atau menghanyutkan perahu yang bermakna memulangkan makhluk halus yang datang di Tempilang agar tidak mengganggu warga setempat. Ada juga prosesi ngancak, yakni pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di laut, agar mereka tidak mengganggu aktivitas nelayan saat melaut.
Selain itu, terdapat prosesi penimbongan. Prosesi ini bermakna memberikan makanan kepada makhluk halus yang bermukin di darat agar tidak mengganggu masyarakat.
Kawan, “pemberian makan” kepada makhluk halus ini dilakukan lewat sesaji. Sesaji itu dimaknai satu kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga muncullah kehidupan bersama yang saling berdampingan. Unik, bukan?
Dijuluki Kampung Zombie, Pemukiman di Tengah Kota Jakarta yang Ditinggal Pemiliknya akibat Hal Ini
Jadi Ajang Silaturahmi Antarwarga
Perang Ketupat adalah sebuah warisan budaya asli dari Bangka Barat. Ritual ini dilakukan sebagai sarana untuk berkumpul kembali dan bersilaturahmi, mempererat tali persaudaraan antarwarga desa Tempilang.
Dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Perang Ketupat memiliki makna yang sangat mendalam. Ketupat sendiri bermakna persatuan, kesatuan, kesadaran dan gotong royong.
Usut punya usut, ketupat dipilih karena memiliki arti dan makna yang sangat mendalam. Hal tersebut dijelaskan oleh Keman, Maestro kondang yang sudah berdedikasi untuk mengembangkan dan melestarikan Perang Ketupat.
Lelaki kelahiran Tempilang, 6 Juni 1965 ini menjelaskan, kata “ketupat” memiliki akronim yang menarik. Ia menyebut bahwa huruf K dalam “ketupat” bermakna kehidupan.
Sementara itu, E berarti etika, T merujuk ke tauhid, U bermakna umat, P artinya perilaku, A untuk agamis, dan T bermakna tradisi. Ia menjelaskan, makna-makna mendalam ini yang harus ditanamkan kepada generasi muda setempat.
“Nah, inilah yang harus kita tanam, kalau bisa dari anak-anak sejak dini,” ungkapnya dalam sebuah video Rekam Maestro, yang diselenggarakan oleh GNFI dan Kemdikbud pada 2024 lalu.
Tradisi seni yang dikemas dengan acara yang meriah ini juga menjadi ajang berkumpul menjelang bulan Ramadan. Anak-anak muda di Tempilang juga tampak masih sangat bersemangat untuk melestarikan budaya ini.
Kawan, Keman juga berjasa untuk mengenalkan kebudayaan kepada generasi muda lewat perguruan silat dan tari. Ia mengajak anak muda untuk berprestasi lewat perguruan silat dan terus mengembangkan seni tari di daerahnya.
“Harapan kita anak mudanya nanti jangan tidak berkembang, harus berkembang terus. Jangan sampai tidak tahu bahwa adat kita bagaimana, karena semuanya sudah punya adat,” tukasnya.
Alasan Mengapa Lapis Legit Jadi Kudapan yang Selalu Ada Saat Imlek
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News